Terlepas dari begitu banyaknya genre film dan perbedaan selera, pada dasarnya orang menonton film karena ingin dihibur. Sajian dalam film sendiri ada yang memang isinya murni hiburan, ada yang mengajak penontonnya untuk berpikir, ada yang bertujuan untuk seni, dan lain sebagainya. Masalahnya, agak skeptis untuk menentukan film yang berjudul Begotten ini masuk ke dalam kategori mana.
![]() |
Poster Film Begotten |
Sulit rasanya untuk menggambarkan cerita di balik karya ‘nyeleneh’ besutan E. Elias Merhige yang sekaligus merangkap sebagai penulis naskahnya ini.
Tak banyak yang bisa dikatakan untuk mendeskripsikan isi dari film yang konon terinspirasi dari pengalaman mendekati kematian yang dialami langsung oleh Merhige sendiri saat berusia 19 tahun setelah kecelakaan mobil yang menimpanya.
Secara garis besar, Begotten kemungkinan menyinggung tentang eksistensi sosok Tuhan dan kehidupan setelah kematian yang digambarkan begitu ekstrim. Kehadiran simbol-simbol religius yang nampaknya mengarah kepada umat kristiani disertai dengan kontennya yang kontroversi tersebut tentu tidak akan mudah untuk bisa diterima kalangan umum, apalagi visualisasinya yang sangat tidak biasa.
Begotten tidak menawarkan sebuah jalan cerita yang umumnya ditemui dalam film-film, ataupun menakut-nakuti penontonnya dengan cara tipikal film-film horor konvensional. Melainkan, Anda hanya akan melihat visualisasi rangkaian gambar-gambar hitam putih yang sangat disturbing dan sulit dilihat, disertai atmosfer yang tidak nyaman sehingga ujung-ujungnya memberikan efek kengerian yang luar biasa.
Film ini tampil tanpa iringan musik ataupun dialog. Yang ada hanya kesunyian yang diselingi dengan bunyi jangkrik dan efek suara-suara aneh lainnya yang menambah kesan angker.
Sepertinya itupun belum cukup. Karena lewat beberapa menit sekali diperlihatkan adegan-adegan penyiksaan menyayat yang ironisnya juga membuat penonton yang menyaksikannya merasa tersiksa. Penyiksaan ini dilakukan oleh sekelompok makhluk, iblis, atau apapun mereka tanpa disertai raut muka yang jelas.
Sampai saat ini pun masih sulit untuk mengerti apa yang hendak disampaikan oleh sutradara kelahiran Brooklyn tersebut. Apakah hanya bertujuan untuk artistik semata, atau memang ada pesan-pesan tertentu yang ingin dicerna oleh penontonnya? Pasalnya, Begotten bukanlah sebuah tontonan yang mudah untuk ‘dinikmati’.
Angkat topi layak diberikan bila ada yang sanggup menikmati Begotten selama satu durasi penuh dan menyebutnya menghibur. Ya, memang kembali lagi pada perspektif masing-masing individu.
Meski demikian, apresiasi positif patut diberikan atas dedikasi kinerja Merhige yang dalam membuat gambar-gambar di film ini harus melewati proses yang terbilang tidak mudah. Butuh waktu kurang lebih 8-10 jam untuk melakukan reka ulang fotografi setiap menit adegannya dari film orisinilnya agar visualisasi yang diinginkannya tercapai. Untuk pasca produksinya sendiri kabarnya memakan waktu 8 bulan